Lingkungan Watuireng

Pada 1600 terjadi perang Sakarta dan Pacitan yang dikenal dengan Perang Gegander. Artinya perang tanpa senjata dan hanya berhadap-hadapan. Adalah seorang yang bernama mbah Bayi Langgeng (dinamakan bayi karena sejak lahir sampai mati tidak punya gigi) yang memiliki kuda putih. Suatu ketika Mbah Bayi Langgeng ini dianggap musuh dan dibunuh oleh kawannya sendiri. Adalah juga seorang pahlawan yang bernama Panuerta (orang bijaksana) yang tinggal Tireng. Tireng merupakan sebuah nama tempat (tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai arti dan makna). Daerah Tireng merupakan daerah yang subur. Tireng akhirnya berubah nama menjadi desa Kineker. Bila akhirnya berubah nama menjadi Watuireng karena ada batu yang warnanya hitam. Desa Watuireng terdiri dari tujuh dusun yakni Dawuhan, Ngasem, Pancuran, Nglorok, Tukul, Kineker/Watuireng dan Sambeng.

Desa Tireng memang maju dan terdapat beberapa mata air yang kini disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Orang asli Watuireng tidak boleh mencari pesugihan. Umumnya  mereka tidak senang bertengkar. Seiring dengan kemajuan dan perkembangannya Watuireng menjadi desa pingitan dan warga yang menjadi lurah, ketua RW, RT atau kepala Desa tidak boleh sembarangan dalam memimpin desa Watuireng. Mereka harus seorang yang pekerja keras.

Warga pertama dari Watuireng yang dibaptis adalah Philipus Jaimo. Ia tertarik menjadi Katolik karena pelajaran agama di sekolahnya. Katekis yang mengajar agama ketika itu Bp. Wardi, teman baptis ST. Sularso dan Sutar. Jaimo dibaptis pada bulan puasa Januari 1954 oleh Rm. Marto Wardoyo. Terbentuknya paguyuban umat Allah di Tireng terjadi pada tahun 1965. Bp. Hariyono adalah katekis yang berjasa mewartakan iman Katolik di Watuireng sejak 1982 sampai sekarang. Metode pengajaran yang digunakan adalah berbagi pengalaman hidup, Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru dan kisah orang-orang suci misalnya Santo-Santa. Dengan metode ini banyak warga yang mudah tersentuh. 
Sebelum menjadi lingkungan sendiri, Tireng bergabung dengan Ngampohan karena  jumlah umat di Watuireng hanya berkisar 10 orang. Hambatan yang dialami oleh pamong dan katekis dalam memekarkan agama Katolik di lingkungan ini adalah warga kebanyakan masih kolot  khususnya dalam membuat tanda salib dan sulit menghafalkan doa-doa. Pamong lingkungan Watuireng yang pertama diemban Ign. Atmo Suwito, lalu diganti oleh FX. Atmo Sumarso, Romanus Kasino, Y. Katirin, L. Parmin, P. Wakidi, FX. Atma Sumarso, Y. Sutarto, P. Wakidi, Th. Tukiatmoko sampai sekarang.

Kelompok Slawatan
Seperti halnya di lingkungan Selorejo, yang pertama kali mengenalkan seni slawatan di lingkungan Watuireng adalah Rm. M. Atmo Harjono SJ pada tahun 1988. Bp. Atmo Sumarso diajak Rm. Atmo ke daerah Boro Yogyakarta untuk menyaksikan pertunjukkan slawatan. Pertunjukkan ini lalu direkam dan dikenalkan kepada umat di lingkungan Watuireng Kidul ketika ada doa dan Ibadat.

Pada tahun 1997 lingkungan Watuireng Kidul bertekad untuk membeli alat musik slawatan. Minat masyarakat Watuireng Kidul sangat besar, tercermin dari banyaknya warga Katolik yang hadir dalam setiap latihan slawatan. Dengan adanya slawatan, masyarakat Watuireng merasa semakin dekat dengan Tuhan, hal ini dibuktikan pada setiap ada tugas Misa Jumat pertama di Sendang Ratu Kenya, umat berusaha untuk datang. Namun slawatan di lingkungan Watuireng Kidul bukan melulu untuk kemajuan perorangan tapi untuk kemajuan lingkungan. 

Kapel Watuireng
Sejarah berdirinya Kapel St. Yohanes berawal dari Bapak Petrus Misdi salah satu warga Katolik lingkungan Watuireng memberikan setengah tanah pekarangannya (hibah) untuk didirikan tempat doa (Kapel) umat Katolik. Umat lingkungan Watuireng menyambut kehendak baik bapak Petrus Misdi. 

Umat lingkungan Watuireng bersama-sama memikirkan bagaimana rumah doa tersebut dapat dibangun. Pada bulan Mei tahun 2006, secara gotong royong akhirnya umat dan warga sekitar bersama-sama mau berpartisipasi membangun tempat doa. Karena mata pencaharian umat di lingkungan Watuireng kebanyakan membuat batu bata, akhirnya muncul kesepakatan setiap KK mengumpulkan minimal 200 biji batu bata, tetapi ada juga yang mengumpulkan lebih dari itu. Umat juga mengumpulkan bambu untuk kepentingan pembangunan. Selain itu tenaga pada saat membangun digilirkan ke umat lingkungan. Untuk pembangunan tersebut dana diperoleh dari para donatur melalui Rm. A. Mardi Santosa, SJ (Pastor Paroki St. Ignatius Danan pada saat itu). Dana yang dikeluarkan sekitar Rp. 56.000.000,- 

Kapel ini digunakan untuk ibadat bersama umat Katolik, Natalan bersama, Paskahan bersama, dan lain-lain. Selain sebagai tempat ibadat, dipakai untuk latihan kerawitan yang diikuti oleh umat Katolik dan non Katolik. Kelompok kerawitan ini terdiri dari orang-orang yang mau belajar bersama-sama tanpa memandang agama. Kelompok ini rutin mengadakan kegiatan setiap hari Selasa malam. 


Kapel ini sampai sekarang belum selesai pembangunannya karena keterbatasan dana yang ada. 


0 Komentar