Lingkungan Tirtosworo

Dalam bahasa Jawa, Tirtosworo (tirto: air, suworo: suara—jawa, red) artinya suara air atau air yang bersuara. Konotasi yang muncul dari arti itu adalah bahwa Tirtosworo  merupakan sebuah tempat yang subur dengan air yang melimpah. Namun tidak demikian dengan desa Tirtosworo. Sebaliknya desa yang masih di bawah Kecamatan Giriwoyo ini suatu daerah yang kurang subur bahkan agak tandus. Apalagi bila musim kemarau tiba, tanah di desa ini kelihatan kering bahkan kekurangan air. Sehingga para petani praktis menganggur di musim kemarau, karena mereka hanya mengandalkan air hujan untuk bercocok tanam. Selain petani, umat Tirtosuworo berprofesi sebagai pedagang, pegawai dan PNS.

Sekitar tahun 1950-an sebagian besar penduduk Tirtosworo memeluk agama Islam, selebihnya ada yang masih mempercayai hal-hal yang gaib, menyembah leluhur atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Baru setelah SR Kanisius berdiri di desa ini (di Dusun Klego, 1951-1952), penduduk desa mulai mengenal agama Katolik. Semua ini tidak terlepas dari peran guru-guru SR yang semuanya beragama Katolik. Guru-guru tersebut antara lain Bp.Sutanto, Bp.Samijo, Bp.Wakiyo, dan Bp. P. Suherman. Berdirinya SR Kanisius ini secara tidak langsung menarik simpati murid-murid untuk memeluk agama Katolik. Beberapa warga yang dibaptis untuk pertama kali adalah YB. Paiman, Th. Siti Ngaisah, YB. Triyanto, dan Br. Yoakim pada 1957/1958. Katekis pertama dari lingkungan Tirtosworo yakni Bp. Siswo.

Dengan bertambahnya jumlah umat Katolik di desa ini, mulailah dirintis kegiatan-kegiatan doa seminggu sekali di rumah Bp. Paiman (1964). Pada periode ini umat masih mengikuti perayaan ekaristi mingguan di Paroki Baturetno. Kegiatan ini berlangsung secara kontinu sampai akhirnya pada 1970 secara resmi Tirtosworo menjadi lingkungan yang mandiri meski Danan masih menjadi Stasi dari Paroki Baturetno. Ketua lingkungan yang pertama adalah AS. Cipto Wiyono lalu digantikan FX. Cipto Karjono, L. Warsiman, E. Mursriadi, FX. Cipto Karjono dan Y. Warsino. Pergantian pengurus diadakan setiap lima tahun sekali.

Meskipun Tirtosworo merupakan Lingkungan kecil namun memiliki dua Prodiakon yakni M. Suyatno dan AS. Cipto Wiyono. Jumlah umat di lingkungan ini sekitar 18 KK dan dibagi menjadi tiga blok yakni blok Yudas, Petrus dan Theresia. Setiap blok mengadakan kegiatan doa keliling sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Umat lingkungan ini tersebar di tiga desa dalam dua kecamatan yakni: Desa Tlogoharjo, Kec. Giritontro, Desa Guwotirto, dan Desa Tirtosworo Kec. Giriwoyo. Maka tak heran bila perjalanan yang ditempuh oleh umat lingkungan Tirtosworo ke Kapel, paling dekat  500 m. Bahkan ada yang berjarak sekitar 5 km untuk mengikuti Misa/Ibadat di Kapel. Perjalanan yang jauh itu masih ditempuh dengan jalan kaki mengingat susahnya sarana tansportasi yang pasti.

Meski dengan jumlah umat yang tidak begitu banyak, namun umat boleh berbangga karena telah mempunyai kapel yang merupakan bekas gedung SD Kanisius yang telah ditutup pada tahun 1999. Selain organisasi Wanita Katolik (WK)  dan Mudika, lingkungan Tirtosworo juga mempunyai paguyuban Pangrukti Loyo yang mengurusi kematian umat di lingkungannya.

Kapel Tirtosuworo
Kapel Tirtosuworo yang digunakan untuk Misa tiap Minggu Pahing tak lain adalah bekas gedung sekolah SD Kanisius. Sejak 1971 sekolah ini digunakan sebagai tempat Ibadat selain untuk kegiatan belajar mengajar. Namun kini gedung sekolah ini hanya digunakan sebagai tempat Ibadat mengingat sekolah milik Yayasan Kanisius ini ditutup pada tahun 1999. 

Ditutupnya SD Kanisius Tirtosworo ini tak lain karena jumlah murid dari tahun ke tahun semakin berkurang. Banyaknya umat usia produktif yang merantau ke kota untuk mencari nafkah dan melanjutkan sekolah mengakibatkan berkurangnya jumlah umat dan sekaligus jumlah murid SD Kanisius. Selain itu ada beberapa di antaranya yang murtad atau menikah di luar Gereja Katolik. Alasan lain berkurangnya jumlah siswa adalah munculnya sekolah negeri dan yayasan lain yang berdiri di desa ini. Tercatat sudah ada empat Sekolah Dasar di desa Tirtosworo.

Sejak SD Kanisius ditutup, umat Tirtosworo meminta izin kepada Kepala Desa dan masyarakat setempat agar bekas gedung sekolah itu bisa dijadikan kapel untuk umat Tirtosuworo. Meski gedung sekolah ini defacto milik yayasan Kanisius, namun tanah yang ditempati masih milik pemerintah. Umat hanya mempunyai hak guna saja sehingga tidak bisa mensertifikasi. Pembangunan gedung sekolah yang mengalami dua tahap (1992) ini juga berkat bantuan dana dari pemerintah dan Yayasan Kanisius.

0 Komentar