Lingkungan Songbledek

Lingkungan Songbledek termasuk lingkungan yang paling jauh jaraknya dari gereja Danan (+30 km ke arah barat), persisnya sebelah barat Kecamatan Paranggupito. Sebagian besar penduduk Songbledek bermata pencaharian sebagai petani. Demikian juga yang beragama Katolik, rata-rata dari mereka hidup dari bertani/buruh tani. Meski terpencil, masyarakat Songbledek ramah dan baik kepada orang luar maupun antar warga. Ketika memasuki desa Songbledek, tampak pepohonan yang asri dan terdapat banyak Song (Gua di tengah-tengah pegunungan)

Sebelum iman Katolik berhembus di daerah Songbledek, mayoritas masyarakat Songbledek menganut agama Islam. Namun mereka belum menjalankan syariat-syariat agama. Mereka masih didominasi kepercayaan seperti animisme, dinamisme, atau satu Suronan (menghormati bulan Suro). Masuknya agama Katolik ke desa ini dibawa oleh seorang guru dari Stasi Danan Paroki Baturetno pada tahun 1963. Guru tersebut adalah Ag. Miyo Sumaryono yang tak lain guru SD. Dari pengajaran Pak Miyo, warga berpendapat bahwa ajaran Katolik tidak membeda-bedakan status masyarakat. Baru beberapa bulan mengajar, Miyo terpaksa diusir dari SD karena ada pihak yang tidak senang dengan kehadiran dan ajarannya. Kejadian ini amat disayangkan, karena kepindahan Pak Miyo mengakibatkan tidak adanya bibit baru/katekis baru yang menggantikannya. Situasi mengambang ini terjadi pada tahun 1963-1984.

Pada tahun 1984 Rm. Tarno bersama A. Sunardi datang ke desa Songbledek. Mereka  mengajak warga kembali kepada Kristus. Sebagian warga tersebut antara lain Wagimin dan Tugiman yang berhasil mengajak isterinya masuk ke agama Katolik. Selanjutnya Ibu Tugiman membujuk kedua orang tuanya (Bp.Ibu Suratmo) mengikuti jejaknya. Kebetulan Suratmo adalah seorang Kades. Posisi ini mengakibatkan banyak stafnya ikut manjadi anggota Gereja. Pada tahun 1986 umat Katolik Songbledek berjumlah 22 KK (53 orang). Di awal tahun 2015 berjumlah 13 KK (31 orang).

Sebelum mempunyai kapel sendiri, umat harus pergi ke Paranggupito untuk mengikuti Misa Hari Besar, yang jaraknya kurang lebih 4,5 km. Jarak yang jauh ini kiranya menimbulkan kesulitan umat, belum lagi bila musim hujan tiba. Umat harus menempuh jalanan yang becek untuk sampai ke Paranggupito. Kendala lain yang mempengaruhi perkembangan umat, banyaknya Mudika putri yang terpaksa pindah agama karena mengikuti agama yang dianut pasangannya. Sampai sekarang umat Katolik di lingkungan ini tinggal 14 KK (27 orang). Bp. Tugiman sebagai pamong lingkungan merasa masih ada ketergantungan umat pada pamongnya. Konkritnya, pamong harus memberitahu umatnya satu persatu setiap kali ada Misa maupun ibadat meskipun sudah ada jadwal pasti. Tak hanya itu, semua masalah dan urusan parokial sepertinya hanya menjadi urusan pamong saja dan umat tidak mau tahu. Namun berkat ketekunan dan kearifan beberapa petugas/pelayan pastoral, situasi demikian itu semakin hari semakin mapan.

Kapel Songbledek


Pada tahun 1986 ada tiga orang tokoh dari Songbledek yakni Tugiman, Wagimin dan Suratmo yang berhasil mengumpulkan dana untuk membeli tanah berukuran 33x18 m seharga Rp. 300.000,00 untuk didirikan kapel. Ketiga tokoh ini sempat mendatangi Rm. Stormmsand SJ. Kedatangan ketiga tokoh ini dengan maksud meminta bantuan Romo guna pembelian rumah seharga  Rp. 1.100.000,00.

Pendirian kapel ini mendapat halangan dari Camat setempat bahwa umat harus minta izin ke KUA setempat. Umat bertekad tidak mau meminta izin, namun akhirnya meminta izin pada lingkungan setempat. Setelah lingkungan sekitarnya mengizinkan, dibangunlah kapel atas usaha umat dan Rm. Alb. Mardisantosa, SJ. Rm. Mardi Santosa-lah yang mempublikasikan umat Songbledek bahwa mereka ingin memiliki kapel sendiri. Usaha yang gigih itu membuahkan hasil. Sebuah kapel kini sudah berdiri di tengah-tengah desa yang asri.

Kapel ini diresmikan oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Ign. Suharyo pada tanggal 30 Oktober 2005 dan diberi nama Kapel St. Yohanes De Britto. Mengenai nama ini ada sejarahnya sendiri yaitu proses pembangunan kapel ini didukung oleh segenap siswa dan alumni SMA De Britto Yogyakarta. Maka untuk mengenang jasa sekolah dan almamaternya, kapel Songbledek diberi nama Yohanes De Britto sebagai nama pelindung.

0 Komentar