Lingkungan Selorejo

Dusun Selorejo sebelumnya hanyalah berupa semak belukar dan tanah  di sekitarnya menjadi tanah garapan. Di tengah-tengah sebidang tanah garapan tersebut didirikan gubuk untuk menjaga tanaman dari serangan hama dan mengantisipasi dari pencurian pihak-pihak lain. Sebidang tanah yang ditanami palawija ini dulu dikenal sebagai tempat keramat (angker) karena banyak hantu “Keblak” yang menghuni tempat ini. Keblak adalah semacam kelelawar yang berjalan di tanah dan mengelilingi gubuk. Menurut penuturan Truko (seorang sesepuh), ia sering mendengar suara hantu berbunyi “Blak…..blak…..ting…..awakku sejuwing”. Maka atas inisiatif Truko tempat tersebut dinamakan enthok-enthing. Dan tempat yang semula semak belukar itu akhirnya dihuni sebagian orang sehingga berbentuk sebuah perkampungan yang oleh pemerintah Mangkunegaran dinamakan “Selorejo” pada tahun 1917.

Sebelum agama Katolik masuk, masyarakat Selorejo (80%) beragama Islam abangan. Kehadiran sekolah Kanisius pada tahun 1933 dan kegiatan para guru dalam mengajarkan iman Katolik di wilayah Serenan menjadi tonggak bersejarah munculnya paguyuban umat beriman Katolik di wilayah Selorejo. Para guru tidak hanya mengajar di sekolah. Mereka gigih mengajar di luar jam sekolah kepada para murid dan orang tua murid, bertempat di pondokan guru. Para tokoh atau guru yang berjasa tersebut antara lain Purwoadi Suwoyo, Hariyatmoko, Dibyo Harsono, Cipto Wardoyo, Harjo Warsito dan YB. Suwardi. Metode yang digunakan para guru sebagai sarana mengajar adalah mendongeng, ceramah dan bernyanyi. Metode ini rupanya membuat anak-anak dan orang tuanya menjadi tertarik dengan ajaran iman Katolik. Pada gilirannya, mereka mengikuti pelajaran agama Katolik tidak hanya di pondokan guru melainkan di rumah penduduk secara bergantian. Sebulan sekali mereka diajak mengikuti Misa di kapel Pathuk-Baturetno dengan mengundang pastor dari Paroki Purbayan Solo. Orang yang dibaptis pertama kali di lingkungan Selorejo adalah Ibu Pathi (Ibunda Bp. Y. Suwarno) pada tahun 1938.

Namun pada tahun 1942-1945 (masa pendudukkan Jepang dalam PD II) perkembangan agama Katolik semakin surut dan tidak ada kegiatan agama. Periode pendudukan Jepang ini tidak hanya mengganggu pertumbuhan kehidupan iman Katolik namun juga berpengaruh pada roda perekonomian. Peristiwa ini mengakibatkan banyak guru pindah ke daerah lain untuk mencari nafkah. Baru pada tahun 1949 (periode kehadiran YB. Suwardi dan kawan-kawan) semua kegiatan diatur kembali dan mulai diadakan konsolidasi. Angin segar yang dibawa YB. Suwardi dan kawan-kawan ini diteruskan oleh guru-guru SD Kanisius Serenan I.

Seiring perjalanan waktu, umat Katolik lingkungan Selorejo semakin bertambah. Awal tahun 2015 jumlah umat mencapai 46 KK (127) yang tersebar di dua dusun yakni Selorejo dan Nyamplung. 

Setelah Danan menjadi paroki (1998), lingkungan Selorejo resmi menjadi lingkungan mandiri. Situasi ini menuntut lingkungan untuk membentuk pengurus lingkungan dan pemilihan pamong lingkungan. Sejak berdirinya hingga kini lingkungan Selorejo mengalami delapan kali reorganisasi kepengurusan. Pamong lingkungan pertama diemban Y. Suwarno. Selanjutnya, secara berurutan diteruskan oleh Kasdi, Ig. Suratno, Ag. Jumadi, Y. Ngatno, Ag. Slamet S, Kasto, AM. Katimo, V. Supatahno dan FX. Wardoyo sampai sekarang. Masing-masing pamong memiliki kemiripan metode dalam rangka ngemong umat yaitu metode kebersamaan dan kerjasama. Artinya setiap pekerjaan atau tugas baik dari paroki atau luar paroki harus ditanggung dan dikerjakan bersama.

Mayoritas pekerjaan umat adalah petani, beberapa umat berprofesi sebagai guru dan karyawan. Di Selorejo sendiri terbagi dalam delapan blok yang masing-masing blok rata-rata berjumlah 5 KK. Kegiatan rutin yang dilaksanakan antara lain latihan koor, pertemuan kelompok slawatan, WK, pelayanan doa, Ibadat setiap malam Jum’at, bazar dll. Khusus untuk Mudika, beberapa bulan terakhir vakum. Kevakuman Mudika terkait dengan penyusutan jumlah angota. Hal ini tidak lain karena setelah lulus SMA mereka biasanya pergi ke luar kota untuk bekerja maupun untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kelompok Slawatan
Gagasan terbentuknya slawatan muncul dari Pastor M. Atmo Harjono SJ ketika menjadi pastor paroki Baturetno. Gagasan Romo dari Yogyakarta untuk mengembangkan slawatan (rebana) ini timbul setelah melihat dan menyaksikan slawatan yang ada di daerah Boro dan sekitarnya. Maka itu Rm. Atmo mengajak umat Selorejo membuat alat berupa rebana tiga macam dengan ukuran besar dan kecil dan kendhangnya. Ide cemerlang ini diterima umat Selorejo yang sebelumnya hanya meminjam alat-alat slawatan dari dusun lain yaitu milik Bp. Umar.

Tidak beberapa lama umat Selorejopun bergotong royong membuat seperangkat rebana untuk latihan bersama dan Rm. Atmo yang memimpin sendiri saat group slawatan ini mengadakan latihan di rumah salah satu umat Selorejo. Maksud dari slawatan ini tak lain untuk menyebarkan iman Katolik dan slawatan sebagai iringannya. Dari slawatan inilah banyak warga yang tertarik. Keberhasilan slawatan sebagai media pewartaan iman didukung oleh situasi bahwa saat itu belum ada media yang memberi hiburan seperti TV, radio dll.

Selain dipakai untuk kegiatan keagamaan, slawatan ini juga sering dipakai untuk acara Khitanan, tujuh bulanan (tingkep) dll dengan sedikit imbalan. Slawatan kini telah berkembang dan berdiri sebagai paguyuban slawatan dan sering mengiringi Misa Kudus di Gereja, Sendang Ratu Kenya maupun ibadat lingkungan. Namun sayangnya paguyuban slawatan kini semakin merosot karena sebagian dari para pemukul rebana pindah tempat. Di sisi lain muda-mudi sendiri kurang berminat untuk melestarikan seni slawatan ini.

0 Komentar