Lingkungan Jatiharjo

Lingkungan Jatiharjo terletak di desa Tawangharjo, Kecamatan Giriwoyo melingkupi 10 dusun antara lain Jatiharjo, Dringo, Ngluweng, Ngrakung Timur, Ngrakung Barat, Mojosawit, Wonokriyo, Pestho, dan Tawangharjo. Terbentuknya dusun Jatiharjo berawal dari seorang bangsawan yang bertapa di hulu sungai Bengawan Solo yang akhirnya meninggal di daerah Jatiharjo tersebut. Maka dusun inipun dinamakan dukuh pangkalan yang berarti halangan. Dinamakan Jatiharjo karena banyaknya pohon jati di sekitar rumah-rumah penduduk.

Berdirinya paguyuban umat beriman Katolik di dusun Jatiharjo tidak terlepas dari terbentuknya organisasi “Kelompok Tani Pancasila” pada tahun 1960 di mana orang-orang Katolik berperan dan terlibat dalam organisasi tersebut. Kelompok ini bergerak dalam bidang peternakan, pertanian, dan lumbung paceklik. Saat itu mereka bekerjasama dengan Rm. Purwodarminto. Dari organisasi ini banyak masyarakat di dusun ini yang tertarik memeluk agama Katolik. Baptisan pertama diterima oleh keluarga Bp. St. Atmosuwito pada 1952 oleh Rm. Puspodiharjo. Setelah ada pelajaran agama Katolik oleh Bp. St. Atmosuwito dan diikuti oleh beberapa orang. Tidak hanya orang tua yang ingin mengikuti pelajaran agama, anak-anakpun juga tertarik untuk mengikuti pelajaran agama Katolik hingga dibaptis.

Ketertarikan anak-anak ini tidak terlepas dari berdirinya SD Kanisius dan peran guru-guru Kanisius yang mewartakan ajaran Katolik pada tahun 1950. Guru-guru tersebut antara lain Sadino, Sarno, Warino, Wiryosuwito (alm). SD Kanisius Jatiharjo adalah cabang dari SD Kanisius Serenan I. Para katekis yang mengajar agama di lingkungan ini yakin bahwa tokoh-tokoh di dusun Jatiharjo bisa diajak menyebarkan agama Katolik karena para katekis beranggapan bahwa agama Katolik merupakan agama yang dapat melindungi dan dianggap benar, terlebih pada masa kolonial Belanda.

Kini jumlah umat di lingkungan Jatiharjo sebanyak 34 KK atau 89 jiwa. Umat Katolik di lingkungan ini semakin berkurang tiap tahun. Hal ini karena banyaknya muda-mudi yang merantau ke luar kota dan perpindahan penduduk ke Pematang Panggang (Palembang) pada 1980 ketika ada program “Bedhol Desa”. Lahan penduduk ketika itu dijadikan Proyek terusan Bengawan Solo. Selain itu ada beberapa di antaranya yang pindah agama karena perkawinan. Dengan demikian pertambahan umat hanya dari kelahiran saja. Secara umum mata pencaharian umat adalah bertani. Sebagai pamong lingkungan Jatiharjo yang pertama kali adalah Bp. St. Atmosuwito. Selanjutnya secara berututan pamong lingkungan di percayakan oleh Sakiyo, Ciptowiyono, Kasto, Antonius Suprapto, Ant. Harso dan  Antonius Suwarno sampai sekarang. 

Kapel Jatiharjo


Perkembangan umat di lingkungan Jatiharjo semakin lama semakin bertambah banyak sehingga umat di lingkungan ini berkeinginan untuk mendirikan sebuah kapel yang permanen. Pada awalnya bangunan kapel sederhana didirikan di atas tanah atau lahan milik Bp. St. Atmosuwito. Kapel sederhana yang tidak permanen ini diperoleh dari pembelian rumah dari dusun Kepek, desa Sendangagung pada tahun 1965. Perlu dicatat bahwa rumah yang dijadikan kapel ini oleh penduduk dusun Kepek dianggap keramat. Maka dari itu umat Jatiharjo membelinya dengan harga murah. 

Seiring dengan berjalannya waktu, umat Jatiharjo akhirnya bisa mendirikan kapel yang permanen pada masa penggembalaan Rm. Storemmsand, SJ (alm). Kapel ini berdiri di tanah samping rumah Bp. St. Atmosuwito yang dibeli oleh umat Jatiharjo. Kapel St. Yakobus ini memang menyerupai gedung tapi ukurannya tidak begitu besar. Sayangnya kebersihan dan perawatan kapel hanya dilakukan bila akan diadakan Ibadat atau Misa. 

0 Komentar