Lingkungan Dringo

Jarak lingkungan Dringo dengan gereja Danan kurang lebih 1 km ke arah barat.  Menjelang memasuki lingkungan Dringo, terdapat beberapa pangkalan ojek dan pasar yang selalu ramai pada hari pasaran tertentu. Setelah itu hamparan sawah di sisi-sisi jalan terlihat hijau ketika musim hujan dan sebaliknya tanah tandus di sepanjang jalan akan mewarnai pandangan mata ketika musim kemarau. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Dringo adalah petani. 

Lingkungan Dringo terdiri dari empat blok yakni Dringo, Wonokriyo, Tawangharjo dan Ngluweng. Beberapa tokoh yang berjasa dalam mewartakan iman Katolik antara lain Karjo, Sutarjo, Warino, Ig. Suradi, Samijo, dan FX. Suradi. Yang aktif di lingkungan Dringo sampai sekarang juga para katekis yang disebut di atas baik sebagai pengurus lingkungan atau sesepuh lingkungan. 

Ada satu tokoh yang pertama kali mewartakan sabda Tuhan di Blok Dringo yakni Bp. Suparjo (alm) yang berasal dari Yogyakarta. Metode yang digunakan Suparjo dalam mewartakan iman Katolik dengan cerita atau dongeng bersama sesama katekis, Ig. Suradi. Bahan yang digunakan untuk mendongeng adalah Kitab Suci Perjanjian Lama dan kisah kebangkitan Yesus dari Perjanjian Baru. Banyak warga yang mendengarkan kemudian tertarik untuk masuk agama Katolik.

Di blok Wonokriyo, tokoh yang berjasa adalah YB. Sidi (alm). Kehadiran SD Kanisius Serenan I pada tahun 1950 ikut berjasa sebagai media dalam menyebarkan iman Katolik. Guru-guru SD Serenan I yang berjasa menyebarkan iman Katolik antara lain Heru, Narno, St. Atmosuwito dan Dasuki. Berkat jasa kedua sekolah ini, banyak murid akhirnya tertarik untuk dibaptis meski untuk beribadah saja mereka harus berjalan kaki sepanjang empat km dengan kondisi jalan yang becek dan sulit. Pecahnya G30S juga menyebabkan banyak orang kemudian menganut agama Katolik karena mereka menganggap agama Katolik tidak sekejam gerakan G30S. Sementara itu orang beranggapan bahwa orang Katolik tidak berpolitik. Maka saat itu orang-orang Katolik menjadi sasaran kejam oleh gerekan 30 September. Ketika itu jumlah umat Katolik di Wonokriyo sebanyak 40 jiwa atau 12 KK. Di awal tahun 2015 jumlah umat 186 orang (63 KK).

Sedangkan dusun Ngluweng adalah sebuah dusun terpencil yang jauh dari keramaian. Jumlah warganya pun sedikit dan rumah warga berjajar rapi dengan kebun yang luas. Rata-rata mata pencaharian umat di dusun Ngluweng sebagai petani. Ngluweng sendiri berasal dari “luweng” karena di dusun ini dulunya punya luweng atau lubang sumber air untuk mengairi sawah penduduk. Namun kini lubang sumber air itu tinggal sejarah meski penduduk desa sampai kini masih tekun dalam bercocok tanam.

Menurut penuturan YB. Samijo (seorang sesepuh-red) penyebaran iman Katolik di dusun Ngluweng ini berkat jasa anggota Legio Mariae pada tahun 1970. Selain kegiatan Legio Mariae mereka juga rutin melakukan ibadat sebulan sekali hingga tahun 1975. Samijo sendiri adalah seorang guru agama yang dibaptis oleh Rm. Purwodiarjo pada tahun 1952. Berbekal kasih dan semangat pelayanan yang tinggi, Samijo mengenalkan iman Katolik bahkan pewartaannya tidak hanya terbatas di Ngluweng melainkan merambah di dusun Platar, Jepurun dan Wonokriyo. Dengan mengayun sepeda “kebo”nya Samijo membawa kabar keselamatan Kristus dengan berdongeng dari cerita yang ada di KS.

Kapel Dringo


Sampai tahun 1970 jumlah umat di lingkungan Dringo berkisar  200 orang. Karena pertambahan umat melonjak di lingkungan ini, maka pada 1982 mereka membeli tanah seharga Rp. 1.400.000,00 untuk didirikan sebuah kapel. Bangunan kapel ini (kapel St. Aloysius) dibuat dari rumah papan yang dibeli dari Bp. Setra (kec. Bata) seharga Rp. 1.200.000,00. Sejak tahun pembelian hingga sekarang tanah tersebut belum bersertifikat. Hal ini menjadi kendala dalam pembangunan kapel permanen yang sedianya akan dibangun tahun 2005. Maka dari itu pembangunan kapel menunggu sertifakat tanah di mana kapel St. Aloysius ini berdiri. Hingga kini dana yang terkumpul sebesar Rp. 9.000.000,00,- selebihnya akan dicari lewat para donatur.

0 Komentar